Jumat, 30 Maret 2012

Champagne Supernova (Sebuah Cerita)

Segala hal berubah pada akhir musim. Angin, matahari, langit, dan segala hal di sekelilingmu. Semua bergeser sangat cepat. Kau bahkan tak dibiarkan merajut sweater untuk musim dingin.
Aku memandang tempat kehormatan yang di salah satu sudutnya terdapat botol-botol champagne. Dan kini aku mencari dia. Harusnya aku sudah bias melihat punggungnya. Namun yang ada hanya kuda kebanggaanya. Aku jadi teringat perkataannya kemarin:
“Aku jelas akan selalu memilihmu daripada botol-botol champagne itu.”
Aku melihat semua orang sudah siap di atas kudanya. Tinggal dia. Kudanya masih sendirian. Beberapa saat kemudian ia dipinggirkan. Dan lelaki pembawa bendera berdiri di tengah-tengah kami semua. Benderanya ia pegang tinggi-tinggi. Dalam hitungan 3 bendera itu akan turun. Dalam hitungan itu juga aku menghitung champagne di tempat kehormatan. Hanya ada dua. Harusnya tiga.
Ketika bendera sampai di dada laki-laki itu, aku meminggirkan kudaku dan berlari cepat. Ada yang memperhatikan tapi lebih banyak yang mengabaikan. Aku terus berlari. Matahari berteriak agar aku ke utara. Dan angina berbisik menyuruhku ke tenggara. Tapi aku tahu aku hanya akan ke selatan. Di mana semua orang pulang.
Dan dia ada di sana. Terlentang di atas sabana yang langsung mengarah ke sungai. Dia dikelilingi botol-botol yang bisa menerbangkannya. Salah satunya champagne itu.
“Kau lebih memilih champagne daripada aku.” Aku ikut berbaring di sebelahnya. Tapi ia justru bangun dan duduk.
“Ini akan kubagi denganmu.”
Dia tersenyum dan membuka tutup champagne-nya. Isinya menyembur tinggak hendak mengotori langit yang mulai berwarna oranye. Kemudian turun membasahi kami berdua. Kami tertawa. Dan jam-jam setelahnya kami saling berbagi champagne itu. Hingga langit mulai hitam. Tapi bintang belum juga muncul. Ia mulai terlihat kesal dengan itu. Buru-buru menenggak champagne banyak-banyak dan menyemburkannya langsung dari mulutnya. Kini ia seperti melihat ledakan supernova di langit itu. Ia terbahak-bahak.
“Aku tidak ingin menjadi angina, matahari, atau langit sekalipun.”
“Lalu kau mau jadi apa?” dia menenggak lagi banyak-banyak dan menyemburkannya. Kini ia terbahak-bahak puas.
“Boleh aku jadi bayangan, tapi yang berjalan di samping dan bukan di belakangmu?”
“Jangan cuma jadi bayangan.” Dia meletakkan botol dan mengambil posisi duduk.”Jadilah kawanku yang nyata.”
Dia tersenyum. Begitu pula aku. Kami berpelukan, saling menepuk punggung dan menghabiskan champagne di botol. Hingga tanah menerbangkan kami mendekati langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar