Jumat, 30 Maret 2012

Antara Kopi Pelabuhan dan Teh Ibukota

"Kau jadi pulang ke ibukota besok pagi?" diberikannya secangkir kopi dan aku tersenyum menerimanya. Lalu aku mengangguk menjawab pertanyaannya tadi.
Dia terus berjalan dan membuka jendela. Menghirup kopinya menghadap pelabuhan. Angin pelabuhan ikut masuk. Aku menaikkan resleting jaketku hingga menutupi leher. Dan menghirup kopiku sambil menanti pertanyaan berikutnya. Namun menit-menit berlalu tanpa kata-kata lagi. Mungkin dia hanya akan mengajukan pertanyaan yang sama dan sudah pernah kujawab.
Aku menghirup kopiku sekali lagi. Merasakan pahitnya menyentuh pangkal lidahku, kemudian berlari ke kerongkongan dan akhirnya tidur nyenyak di lambung. Kopi buatan lelaki pelabuhan ini memang menagihkan. Untuk itu aku sering bolak-balik ke sini. Sebenarnya aku cukup betah berlama-lama tinggal di pelabuhan. Anginnya yang bau pasir dan tentunya kopi lelaki itu. Tapi kadang aku tidak mau terlalu banyak minum kopi untuk begadang semalaman. Aku juga butuh aroma yang menggelitik bulu hidung dan membuatku terlena hingga terlelap. Pria-pria ibukota punya itu. Mereka menyajikan teh-teh melati di pagi hari. Yang aromanya akan menempel terus di bulu hidung. Memanggil-manggil untuk segera pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar