Rabu, 07 Desember 2011

The Simple Martin

Halohaiiii, met siang karena gua postingnya siang juga :D. okay guys here I come with an 'unordinary' post. kenapa? karena gua hadir barengan cerpen gua yang pertama gua post di blog ini. yang pertama di pos loh ya, bukan yang pertama dibuat. Yang pertama kali dibuat ga gua post malah. FYI, aja. nih cerpen terisnpirasi setelah gue liat video Coldplay live in Glastonbury 2000. Tepatnya pas Chris Martin bilang 'I don't know if any of you have ever heard of us. But we're called coldplay.' Lalu membungkuk sopan di hadapan audience. Okay let's check this out aja! :


Aku baru saja selesai menonton video itu, dan berencana mematikan komputer sebelum kusadari bahwa dia telah berdiri di belakangku. Ia lalu menyodorkan tisu, mengetahui mataku berair.

“Kau menonton lagi,ya?”

“Lagi?” aku mengernyitkan dahi. Sebenarnya memang iya, aku menonton video itu sudah dua kali. Tapi kurasa, tidak seorang pun tahu aku menontonnya untuk pertama kali. Lalu bagaimana dia tahu?

“Ya. Dan memang iya,kan? Pertama saat malam hari atau lebih tepatnya tengah malam, kau menontonnya dengan haru. Dan kedua, baru saja ini.”

Aku kembali mengernitkan dahi. Bagaimana dia tahu itu semua? Namun lelaki ini memang hebat. Dia tahu aku bingung, lalu buru-buru membuka mulut memberi penjelasan.

“Malam itu sebenarnya aku dating. Aku ingin memberikanmu kalung The Rolling Stones yang aku beli di festival. Tapi kulihat kau amat khusyuk di depan komputer. Sampai kau tak tahu ada seseorang yang membuka pintu kamarmu. Aku tak mau kau terganggu, jadi lebih baik aku pulang.”

Aku tersenyum sekarang.

“Dan kau tahu? Sampai rumah aku pun menonton video itu.”

Senyumku semakin lebar. Kubenahi caraku duduk, lalu bersiap mendengarnya bercerita.

“Dan kau menyadari sesuatu?”

“Ya, kau lihat betapa masih mudanya aku. Juga betapa pemalunya aku waktu itu. Kadang aku tak percaya sendiri. Aku dan band-ku tentunya tampil di festival megah itu saat kami baru punya satu album.”

“Kau tak pernah membayangkan 10 tahun berikutnya kau akan sering tampil di sana dan festival megah lain?”

Dia menggeleng pelan dan sambil menerawang jauh dia mulai lagi bercerita.

“Jangankan membayangkan hal seperti itu. Yang aku pikirkan dulu hanyalah agar aku bias berdiri dan bernyanyi di sana tanpa pingsan. Kami semua sangat gemetar waktu itu. Bahkan aku tak sadar apa aku masih menginjak tanah atau tidak.”

“Dan kau lihat bagaimana kau dan band-mu sekarang?”

Dia tersenyum lebar memamerkan deretan gigi-gigi putih yang rapi dan rahangnya yang begitu kokoh.

“Ya, kami semua mulai menua. Kulitku juga tidak sekencang dulu lagi.”

“Tapi kau justru makin pandai berdansa di usia segini.”

Kembali ia tertawa. Dan beginilah dia jika sudah tertawa. Bukan hanya mulutnya saja yang terbuka lebar, tapi semua anggota tubuhnya seolah ikut terbuka. Initnya semua ikut tertawa.

“Hey, kau memandang gigiku,ya?”

“Kau tertwa. Dan di saat itu pasti kau pamerkan gigi-gigimu itu.”

Kali ini dia tersenyum. Tapi tak lebar seperti tadi. Hanya kedua ujung bibirnya yang naik. Ia tak lagi memamerkan gigi-giginya.

“Ah, sudahlah. Aku sudah cukup tua. Tak pantas bercanda laiknya anak muda.”

“Kau justru akan awet muda kalau hobi bercanda.”

Lagi, dia hanya tersenyum tipis. Lalu mengambil sesuatu dari saku celananya.

“Ini untukmu. Aku harus membongkar lemari untuk menemukannya. Untunglah masih ada. Dan rasanya… aku terlalu lama di sini. Aku takut semakin bertambah muda jika bersamamu. Aku pulang, ya? Bye.”

Lalu ia letakkan benda dari saku celananya tadi. Sebuah harmonika yang cukup tua. Yang aku yakin inilah harmonika yang sama, yang ia mainkan seperti di video itu. Kulihat dia hamper sampai di depan pintu. Cepat-cepat kubuka mulut sebelum ia melewati pintu itu.

“Tapi kau tak pernah berubah, Martin.”

Dia berbalik dan tersenyum tipis.

“Jangan lupa sampaikan salamku untuk Apple, Moses, juga Gwyneth.”

Dia hanya mengacungkan ibu jarinya lalu berlalu melewati pinru. Aku memandangi punggungnya yang tegap berlalu melewati pintu. Ya, kau memang tak pernah berubah, Martin. Kau tetaplah Martin yang selalu berusaha menyembunyikan kegugupannya di depan para wanita. Kau selalu menjadi Martin yang polos, rendah hati, namun tak jarang bias bertingkah konyol. Kau masih Martin seperti saat kita pertama bertemu. Kala kau merangkulku karena aku tak bias menghentikan tangis setelah konsermu.

Pandanganku pun beralih ke harmonika pemberiannya tadi. Kuambil lalu kucoba memainkan ‘Don’t Panic’ seperti dia pada video itu. Tak sebagus dia memang. Tapi aku akan selalu mencoba untuk seperti dia. Terima kasih, Martin.

Inspired by this video :



Gimana, udah baca? Gaje kan? Yah, inilah tulisan seorang fan yang merana :D. Kalau udah baca *kalau ada* tolong kasih komen ya, biar saya bisa belajar :). Ini cerpen saya buat pas saya try out UAN. Pas udah selesai ngerjainnya, daripada gaje nunggu bel mending coret-coret danjadilah ini :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar