Senin, 19 Desember 2011

Martin Lagiiii!

Halo, semua! Saya kembali lagi dengan fanfic yang baru setelah 'The Simple Martin' yang kemarin itu. Kali ini gak ada judulnya. Haha, bingung. Okeh, kalu yang kemarin terinspirasi dari video Coldplay live in Glastonbury 2000, kali ini terinspirasi sama single mereka yang bakal jadi single ketiga, yaitu : Charlie Brown! Bagus loh, for me this is the best track in this album. bentar lagi juga bakal dibikin video clipnya. yang katanya, pake model topless gitu. well, entah itu cuma rumor atau memang bener akan begitu. agak gak percaya masalahnya mas-mas Coldplay kan bukan tipe begituan, mereka kan santun banget. tapi kemarin liat update foto dari salah satu model yang ikut di video emang kayaknya beneran sih, modelnya seksi gitu. ah, udahlah, check this fanfic out aja :

Aku menggigil di dalam sini. Padahal aku sudah memakai jaket tebal ini sejak tadi. Hujan amat deras di luar sana. Angin juga cukup lebat. Aku memandanginya dari jendela sambil sesekali meminum secangkir coklat panas. Sial, coklat ini pun tak bisa untuk sekedar mengurangi rasa dingin yang kurasakan. Aku masih menggigil. Kudengar sebuah suara beserta getaran dalam waktu yang bersamaan. Oh, ternyata ponselku. Siapa yang menelepon di tengah hujan deras begini? Pangeran tampan yang kehujanan lalu minta diberi payung? Tanpa melihat nama di layer ponsel, aku langsung mengangkatnya.

“Hey, bisakah kau bukakan pagarmu? Aku akan mampir.” Oh, tebak siapa. Ternyata Martin.

“Hujan deras begini?”

“Justru itu, hujan sangat lebat. Aku tidak mau berada di jalan saat hujan begini derasnya.”

“Okay.”

Setidaknya, pangeran tampan itu tidak minta diberi payung. Belum sempat aku menaruh ponselku kembali, suara klakson mobil sudah terdengar. Astaga, cepat sekali dia. Jadi dia sudah di depan pagar saat menelepon tadi. Secepat kilat aku meraih paying dan segera membuka pagar. Hujan masih sangat lebat, sekuat tenaga aku mencoba melawan kedinginan yang sedang aku terobos. Dari dalam Martin tersenyum, seperti biasa. Dan, Ya Tuhan, di mana kedinginan yang tadi? Hilangkah hanya karena Martin tersenyum tadi?

“Kenapa kau begitu lambat?”

“Hey, aku tak tahu kau sudah di depan pagar saat kau menelepon.” Kataku membela diri.

“Harusnya setelah kau bilang ‘okay’, pintu pagar sudah kau buka.”

“Memangnya rumahku ini hotel dank au tamu VIP-nya?” jawabku jengkel. Sejak kapan Martin menyusahkan seperti ini.

“Memang bukan. Tapi kau tetap harus memuliakan tamumu, kan?” katanya lalu tersenyum lalu meletakkan gitar yang dia bawa tadi. Well, ada konser akustik gratis untukku nanti. Ia lalu melepas jaketnya dan kini ia hanya berkaos lengan pendek biru. Dengan jelas kau bisa melihat kedua otot lengannya yang kekar. Aku harus menelan ludah sendiri. Dan, di manakah kedinginan yang membuatku sangat menggigil tadi?

“Well, kau mau coklat?” tanyaku mengakhiri kekakuan.

“Kalau kau tak keberatan.”

“Tentu. Aku ingin memuliakan tamuku.” Jawabku sedikit sinis dan dia hanya tersenyum.

Martin sedang membuka-buka majalah ketika aku kembali dari dapur. Tersenyum melihat sebuah artikel tentang dia dan band-nya.

“Sampul yang buruk. Harusnya bukan hanya kau yang ada di sampul.” Kataku sedikit mengejek sambil meletakkan secangkir coklat di hadapannya.

“Haha… sudah kubilang aku tak berbakat jadi model. “

Dia segera meminum coklatnya dan mengambil gitar. Well, saatnya akustik gratis dan eksklusif lagi.

“Kami akan segera merilis single ketiga.” Katanya riang dan sekali lagi meminum coklatnya.

“Princess of China, kan?”

“Bukan… tidak jadi yang itu. Ada single yang menurut kami lebih baik dan harus segera dirilis.”

Aku mengerutkan kening. Mencoba menebak-nebak judul lagu itu.

“Biar kutebak, Hurts Like Heaven?”

Dia hanya menggeleng. Tapi matanya menantangku untuk menebak lagi.

“Us Against The World?”

“Kenapa kau payah sekali?” kali ini dia yang meledek.

“Kukira tidak. Kedua lagu itulah yang terbaik. Kalau begitu, Don’t Let It Break Your Heart?”

“Payah juga. Lagu itu bahkan belum kami mainkan live. Aku ragu kau sudah mendengarkan semua track.”

“Percayalah, Martin. Aku sudah mendengarkan semua dan.. ketiga lagu itulah yang terbaik menurutku. Tentunya setelah Every Teardrop Is A Waterfall.”

Dia tersenyum dan berdehem sebentar. Pasti sehabis ini dia akan mulai bernyanyi.

“Apa kau tak memperhatikan yang ini?”

Dia lalu memetik gitarnya dan mulai memainkan sebuah lagu.

“Wooh..ooh..ooh..ooh. Stole a key. Took a car downtown where the lost boys meet. Took a car downtown and took what they offered me.”

Aku mendengarkannya dengan seksama. Mencoba mengingat judulnya. Tapi entahlah tersimpan di otak sebelah mana. Aku benar-benar lupa. Dan Martin masih terus bernyanyi, hamper di pertengahan lagu rupanya.

“Light a fire a fire a spark. Light a fire a flame in my heart. We’ll run wild. We’ll be glowing in the dark.”

Aah, lagu ini. Ya, kurasa track ini berada setelah Paradise. Tepat setelahnya. Tapi, kenapa aku sama sekali lupa judulnya. Sebentar, kurasa judulnya seperti sebuah nama. Nama yang cukup terkenal. Oh, Tuhan. Di mana otakku menyimpannya?

Martin masih tetap bernyanyi. Tapi matanya terus menantangku untuk segera menemukan judul lagu ini. Sial, aku benar-benar tak ingat.

“So we’ll soar luminous and wired. We’ll be glowing dark. “

Bahkan sampai akhir lagu pun aku belum ingat.

“Bagaimana? Ingat?” tanyanya dan aku hanya bisa menggeleng.

“Tapi, sepertinya lagu ini berada setelah Paradise. Dan yang sedikit bisa kuingat adalah judulnya seperti sebuah nama. Nama yang cukup terkenal!”

“Charlie Brown!” kata Martin mantap, membuatku mataku berbinar.

“Itu dia! Benar,kan? Seperti nama sebuah tokoh kartun. Kurasa aku harus mendengarkannya lagi. Kalau kalian memilihnya sebagai single, berarti luar biasa!”

“Memang luar biasa. Well, kata kebanyakan fans.”

Martin menoleh keluar, aku mengikutinya. Hujan sudah reda dan mungkin dia akan segera pulang.

“Kau lihat di luar,kan?”

“Ya, mau pulang sekarang?”

“Ehhmm, kurasa kita belum bercanda tadi.” Katanya kemudian tersenyum lebar, gigi-giginya tampak lagi dan aku tak bisa untuk tidak memandanginya.

“Hah, aku tak mau membuat kau awet muda. Juga.. tak mau melihat gigimu lama-lama.”

Dia tersenyum lebar lagi. Kali ini dia tak lagi malu bahkan terkesan ingin memamerkan gigi-giginya.

“Baiklah. Kalau begitu, aku pulang.”

Dia kembali mengenakan jaketnya, lalu meraih gitarnya dengan cepat.

“Bye!” katanya sambil tersenyum, namun tak selebar tadi. Buru-buru dia menuju pintu tapi tak segera membukanya. Dia justru berbalik dan menatapku.

“Oh,ya! Satu hal lagi, kau harus ke rumahku Minggu nanti. Apple dan Moses merindukanmu.”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Pasti.”

“Okay. Bye, lagi.”

Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Kudengar mesin mobil dihidupkan. Dari dalam kulihat mobilnya sudah melewati pagar.


Oh, ya. Rencananya saya mau buat blog khusus buat fanfic saya. tapi di tumblr, hehe. Oke deh, sekian. Kalau baca, don't forget to leave the comment, key? That would be very worth for me :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar