Klinik Kelelawar
Ada satu perasaan aneh yang
menjalari batin Renita saat ia memperhatikan lalu-lalang manusia ini. Senyumnya
belum juga berhenti mengembang sedari tadi. Wajahnya bersemu jingga. Bukan efek
dari penerangan tempatnya berada saat ini. Lebih kepada, ah, ia bahkan bingung
harus menerjemahkan perasaannya yang sekarang. Bukan bahagia, bukan juga bangga,
lebih kepada…lega. Ia lega akhirnya mimpi ini menjadi nyata. Meskipun mimpi ini
bukan miliknya. Renita sekarang justru merasa aneh karena menyebutnya sebagai
mimpi. Padahal ide ini dihasilkan tanpa proses tidur terlebih dahulu.
***
“Lama-lama
bosen nggak, sih, kita ke sini terus?”
Renita
menghentikan aktifitasnya mengetik seketika. Dipandanginya lawan bicara yang
saat itu terlihat begitu gelisah. Heri memang kadang seperti itu, terlihat
cemas padahal sedang tak ada masalah berarti.
“Mau
pulang aja apa?” tawar Renita, yang saat itu sudah melepas satu sumpalan earphone
dari telinga kanannya.
“Ya,
nggak gitu juga, Re.”
“Terus?
Kaloji Torajanya nggak seenak biasanya?” Renita melongokkan kepalanya ke arah
cangkir kopi Heri. Masih sisa sekitar setengah gelas, memang. Sesuatu yang tak
wajar, mengingat mereka sudah berdiam di tempat ini selama hampir dua jam.
Biasanya Heri malah sudah memesan satu cangkir lagi.
Renita
pun harus mengurungkan niatnya untuk menatap laptopnya kembali. Heri justru
semakin gelisah, membuat Renita lebih khawatir dari sebelumnya. Laki-laki itu terus
menggerak-gerakkan satu kakinya di bawah meja. Pandangannya sedari tadi juga tidak
bisa fokus menatap Renita, sementara tangannya sibuk meremas rambutnya yang
gondrong.
Segera
saja Renita melakukan satu manuver, menutup semua aplikasi yang sempat ia buka.
Setelah komputernya berada dalam sleep mode, Renita menutup layar laptopnya
begitu saja dan mulai mengemasi alat-alat tulis yang berceceran di meja.
“Kita
pulang aja, Her. Udah jam dua juga.” katanya, seolah jam segitu memang sudah
terlalu larut untuk mereka. Padahal, manusia kelelawar seperti mereka kan,
biasanya justru baru mulai membuat pesanan pada jam-jam segini.
“Kok
pulang sih, Re?”
Renita
menghentikan sejenak aktifitas beres-beresnya dan menoleh ke Heri yang tidak
terima.
“Heri,
kamu mending tidur.”
“Baru
juga jam dua.”
Terlambat.
Heri tak dapat mencegah keputusan Renita karena perempuan mungil itu kini sudah
berdiri menenteng tas laptopnya. Heri pun malas-malasan meninggalkan tempat
kesayangannya ini, satu-satunya kedai kopi yang buka 24 jam di Kota Semarang.
Kaloji Toraja yang masih setengah cangkir ia tinggalkan begitu saja.
***
“Re..coba, deh.”
Lamunan Renita seketika buyar,
mendapati satu colekan di lengan kirinya.
“Ardi, bikin kaget, deh.”
Laki-laki bernama Ardi tadi hanya
menyeringai, kedua tangannya masih menyodorkan cangkir berisi cairan hitam itu
ke arah Renita.
“Kan kemarin aku udah nyoba.”
“Ini beda, tadi aku iseng nyampur
pake durian. Biasanya kan durian dicampurnya pake kopi Sumatra, ini aku nyoba
buat yang Jawa. Gimana menurut kamu?”
Mau tak mau, Renita akhirnya
menerima cangkir itu. Ia lalu menyesapnya perlahan, merasakan sensasi lembut
dan manis melewati lidah dan kerongkongannya. Renita tersenyum setelah itu.
“Kurang…enak, ya?”
“Nggak seenak kalau pake kopi
Sumatra sih, Di. Tapi nggak buruk, kok.”
Ardi hanya tersenyum tipis.
“Eh, tapi ini nggak masuk menu
lho.” Kata Renita, menyesap sisa kopi hingga habis.
“Iya. Aku buat itu tadi iseng,
siapa tahu bisa dipakai buat variasi nantinya.”
“Thanks, ya.”
Dan Renita justru mulai merasa cemas
sekarang. Sebenarnya ada lebih banyak alasan baginya untuk bahagia ketimbang
cemas seperti sekarang ini. Antusiasme para pegawai yang tiada henti, dukungan
dari kolega yang masuk hampir semenit sekali melalui aplikasi pengirim
pesannya. Kedai memang baru akan dibuka satu jam lagi tapi rasanya ia tak perlu
khawatir mengenai sambutannya nanti. Ia hanya merasa ini kurang adil. Harusnya,
bukan ia yang menikmati jerih payah ini.
***
“Jadi,
Re. Gimana kalau kita buka usaha kedai kopi?”
Untung
saja Renita sedang tak berusaha menyesap cairan hitam itu dari dalam cangkir.
Karena jika ya, dia pasti akan menyemburkannya sebelum sempat menelan. Tapi
pertanyaan Heri tadi sudah sukses membuat ia mematung. Hanya matanya yang
bergerak, memelototi Heri yang justru asyik menyesap House Blend yang tadi ia
pesan. Kemarin dia kelihatan cemas, sekarang mengajak mendirikan kedai kopi.
Renita tak habis pikir sahabatnya berturut-turut membuat ia hampir terkena
serangan jantung.
“Kamu
gila, ya?” sahut Renita asal. Ia sudah kembali menghadap laptop, berusaha
membuat sibuk pikirannya sehingga ia tak harus meladeni Heri yang mulai absurd.
“Kedai
kopi, 24 jam, di area deket kampus. Coba kamu pikir, peluang bisnis bagus itu,
Re!” Heri mengoceh seolah tak peduli bahwa Renita sama sekali tak tertarik
dengan topik ini.
“Aneh-aneh
aja kamu ini, Her. Kita itu udah semester tujuh. Memangnya proposal skripsi
kamu udah beres?”
“Skripsi
lagi! Kamu mau cepet-cepet lulus? Terus jadi pengangguran? Mending kita coba
wirausaha. Bukan cuma dapet pekerjaan, tapi juga menyediakan buat orang lain.
Lagipula kan, Re, kita berdua suka ngopi-“
“Yang
suka cuma kamu, Her. Aku kan tiap ke sini lebih sering pesen Thai Tea.”
“Oke,
kalau gitu, kita kan, sama-sama suka kedai kopi. Kenapa nggak coba bikin sendiri
yang vibe-nya lebih sesuai dengan kita dan tentunya lebih…murah.” Heri
merendahkan volume suaranya pada kata ‘murah’, yang mau tak mau membuat Renita
tertawa.
“Kamu
kenapa sih, ngotot banget gini?”
“Kemarin
aku mau ngejelasin itu, eh kamu malah ngajak pulang. Lama-lama capek juga tiap
hari nyetir ke pusat kota cuma buat ngerjain tugas di kedai kopi. Kan di deket
kampus belum ada. Padahal mahasiswa itu target market yang potensial banget.”
“Eh,
ada kok, di belakang kampus, yang deket ayam geprek itu.”
“Itu
mah angkringan!” Renita tersenyum, meskipun pandangannya masih tertuju ke arah
laptop. Ia sudah memprediksi reaksi sahabatnya akan seperti ini. “Yang mau kita
buat itu, kedai kopi dengan konsep café gitu lah, tapi tetep merakyat. Pake
kursi-kursi kayu, dindingnya didekorasi tipografi-tipografi lucu, menu-menunya
dibikin unik, penerangannya pake lampu hias, pasti anak muda suka.”
“Ya
udah, good luck, Her!”
“Jadi
kamu mau, kan?”
“Nggak!”
“Ah!”
Heri melempar tubuhnya sebal, membiarkan punggungnya menyentuh punggung kursi
juga. Renita justru tertawa.
***
Pengunjung sudah mulai
berdatangan, membuat Renita kewalahan menjabat tangan mereka satu per satu.
Kursi-kursi sudah mulai penuh, membuat Ardi dan kedua barista lainnya mulai
kewalahan melayani pesanan mereka. Antrian di depan kasir juga mulai mengular.
Disti, gadis bertubuh mungil yang bertindak sebagai kasir sampai harus
berteriak agar tak kalah dengan keriuhan pengunjung, yang sebagian besar adalah
teman kampus Renita sendiri. Usaha Renita menghubungi mereka jauh-jauh hari
jelas tak sia-sia. Kebanyakan temannya datang secara rombongan, membuat kedai
ini ramai seketika.
“Re! Re! Aku pakai ini cuma buat hari ini, kan?” kata Fatih,
yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Laki-laki berkacamata itu sudah lengkap
berdandan ala dokter, lengkap dengan jas snelli dan stetoskop.
“Iya, snelli-nya Cuma buat
marketing aja, kok. Besok kamu dateng pake kemeja biasa aja.”
“Siap, Re!”
“Tempat kamu di sana, ya!” Renita
menunjuk pada satu meja di pojok kiri café, yang sudah ia tandai dengan tulisan
“KONSULTASI KESEHATAN GRATIS” di atas blackboard.
Renita melirik jam di pergelangan
tangannya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Sebentar lagi, ini semua akan
dimulai.
***
Ketukan
di pintu itu terdengar semakin keras, memaksa Renita untuk segera terjaga dari
tidurnya. Ia masih enggan buru-buru membuka pintu, padahal ketukan itu kini
sudah disertai oleh keluhan orang yang hampir putus asa.. Beginilah resiko
memiliki indekos yang terletak persis di pinggir jalan dan tanpa pintu gerbang.
Pintu kamarnya tadi langsung menghubungkan kamarnya dengan jalanan kecil yang
sering dilalui mahasiswa untuk kuliah. Meskipun begitu, Renita tak pernah
merasa terganggu karena jalanan kecil tersebut memang tak terlalu sering
menyumbang kebisingan.
“Re,
masih hidup kan, Re?” Suara tersebut terlampau keras, apalagi mengingat waktu
sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Jika saja tega, Renita tak akan
membukakan pintu dan orang tadi pasti segera diusir oleh penghuni indekos lain
yang terganggu. Namun ia jelas tak sejahat itu.
Setelah
merasa nyawanya terkumpul, Renita berjalan mendekat pintu, bahkan tanpa
repot-repot merapikan rambutnya dahulu. Buat apa, orang ia tidak sedang akan
menemui pangeran yang mau mengembalikan sepatu kacanya.
“Lama
banget sih cuma buka pintu aja!”
Renita
tak segera menyahut. Untuk beberapa saat, ia tak mengenali Heri. Selama ini, ia
amat jarang melihat rambut laki-laki itu dikucir ke atas seperti ini. Matanya
sampai harus mengerjap beberapa kali, mencoba menyocokkan wajah Heri yang ia
kenal dengan lelaki yang berdiri di depan indekosnya ini.
“Kenapa
sih, Her?” tanyanya malas.
“Kok
chat-ku nggak ada yang kamu balas sih?”
“Udah
tidur.”
“Widih,
baru jam berapa ini? Udah mau pensiun jadi kelelawar?” suara Heri masih begitu
segar dan semangat, padahal laki-laki itu belum tidur sedari tadi.
“Besok
aku konsultasi proposal skripsi pagi-pagi, Her. Kamu mau apa, deh?”
“Nih,
aku udah buat konsep kedai kopi kita. Aku mau bikin konsepnya kopi Jawa gitu,
kan mumpung kita deket sama daerah penghasilnya. Sekalian promosi juga biar
orang-orang tahu kalau jenis kopi di sini tuh beragam, nggak cuma yang itu-itu
aja.”
Heri
menyerahkan selembar kertas yang diterima Renita dengan malas. Seingat
perempuan itu, ia tak pernah mengiyakan ajakan bisnis ini.
“Terus
kopi Toraja kesayanganmu mau dikemanain?”
“Yee,Toraja
mah udah terkenal banget, kopi-kopi Jawa kan belum. Bahkan orang-orang Jawa
pasti juga lebih tahu itu atau Gayo, padahal daerah sekitar mereka sendiri jadi
penghasil. Makanya ini aku mau ke Wonosobo. Mau ngejar Bowongso mereka yang
terkenal itu. Nanti itu bakal aku jadiin salah satu signature.”
Saat
itu juga, Renita merasakan kedua bola matanya hampir melompat keluar. Ini sudah
ketiga kalinya Heri membuatnya hampir terkena serangan jantung.
“Kamu
jangan nekat gini deh, Her. Ini jam berapa?”
“Justru
kalau berangkat jam segini, aku bakal sampai di sana pagi. Jadi aku bisa
sarapan pake Bowongso langsung. Jadi gimana, kamu mau ikut?”
“Her,
jangan gila, deh. Pertama, ngapain kamu pake ngasih konsep kedai kopimu sama
aku? Emang aku pernah ngomong iya pas kamu ajak bikin usaha? Kedua, besok aku
konsultasi proposal. Aku nggak mau buang masa depan demi impian gilamu itu! Aku
tahu kita sahabatan, cuma nggak ini juga, Her.”
“Justru
ini masa depan, Re!”
“Masa
depan gimana? Ngawur kamu!”
“Kamu
ini gimana sih? Ada temen yang mau usaha, bukannya didukung malah dijatuhin!”
“Aku
nggak masalah kamu mau bikin usaha apa pun, asal jangan seret aku buat ngikutin
ide gila ini!”
“Aku
ngajak karena kamu itu sahabat terdekat aku dan yang paling sering nemenin aku
ngopi. Sekarang kamu justru bilang kalau ini gila. Nggak nyangka aku, Re!”
“Her,
nggak ada orang yang dateng ke indekos temennya jam dua begini, kecuali orang
itu nggak waras!”
***
Renita menyapukan pandangannya ke
seluruh area kedai yang sudah cukup tenang, karena sebagian besar pengunjung
sudah duduk bersama pesanan mereka masing-masing. Kini yang terdengar hanya
guraun kecil di setiap meja. Renita sedikit lega, karena kerumunan yang sekarang
lebih mudah ia taklukkan daripada saat mereka baru saja datang. Ia mengetuk microphone tiga kali dan setiap obrolan
di meja-meja itu pun terhenti. Perhatian kini sepenuhnya tertuju padanya.
“Selamat Malam, semua!” sapa
Renita, yang disambut oleh koor ‘malam’ yang panjang. “Selamat Datang di Grand Opening kedai kopi saya!”
Tepuk tangan pun berganti mengisi
suasana kedai.
“Sebetulnya, saya tak pernah
memiliki keinginan untuk memiliki satu kedai kopi.”
Kali ini, keheningan kembali
mengisi setiap sudut kedai itu. Renita menggigit bibir bawahnya, tak pernah
menyangka bagian ini akan begitu sulit.
“Ini ide teman saya, Heri.
Almarhum Heri Stefiano.” Keheningan masih juga belum pergi. Kali ini bahkan
lebih pekat. Hampir semua pengunjung menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Heri sahabat kental saya, teman
ngopi yang paling setia. Dia sangat bersemangat mendirikan satu kedai kopi
berkonsep café dengan harga terjangkau. Saya orang pertama yang ia ajak dan
sayangnya waktu itu saya tolak mentah-mentah. Ide ini terlalu gila. Tapi kita
semua tahu Heri, dia teramat keras kepala, terlalu ngotot, dan kadang juga…sembrono.”
Kedai masih dipenuhi oleh
keheningan, meskipun sudah tak mencekam seperti tadi.
“Akhirnya, dengan bantuan
beberapa teman saya dan juga Heri, saya memutuskan untuk mendirikan kedai kopi
ini, sebagai penebusan rasa bersalah saya, dan juga penghormatan terakhir
untuknya. Saya ingin Heri tetap hidup di tengah-tengah kita. Konsep dasarnya masih
sama seperti yang pernah diutarakan Heri, yaitu kopi Jawa. Maka saya mohon maaf
jika mungkin teman-teman tak menemukan menu-menu semacam cappuccino, latte, maupun kopi-kopi Gayo dan Toraja. Nama menu kami
bisa dibilang lugu, diambil dari nama daerah-daerah penghasil kopi di Jawa
Tengah ini. Mulai dari Banaran, Gesing, Jolong, Tempur, Bowongso. Heri ingin
memperkenalkan keberagaman kopi nusantara dan ia memulainya dari Jawa.”
Renita merasakan sesak di dadanya
perlahan melonggar.
“Selanjtunya, kedai ini saya
namakan…Klinik Kelelawar.” Keheningan pun pecah oleh tawa lirih para
pengunjung. “Terdengar aneh memang, tapi rasanya tak ada lagi nama yang lebih
sesuai. Saya dan Heri sering menyebut diri kami sendiri sebagai kelelawar,
makhluk-makhluk yang justru bisa bekerja maksimal di malam hari. Dan klinik di
sini, tak cuma sebagai sebagai satu kiasan, tapi juga bermakna literal. Saya
meminta bantuan teman-teman saya dari kedokteran untuk membuka konsultasi
kesehatan di sini. Bisa ditemui di pojok sebelah kiri kedai ini, tanpa biaya
sepeser pun. Karena saya mau, kedai ini tak sekadar menyajikan kenikmatan, tapi
juga memberikan kesehatan, layaknya kopi.”
Kini sesak di dadanya sudah
hilang seluruhnya, menciptakan satu kelegaan luar biasa bagi Renita. Ia serasa
sudah dimaafkan. Tepuk tangan segera saja memenuhi ruangan begitu ia
menyelesaikan pidatonya itu. Satu hutangnya lunas.
***
Usai
pertengkaran itu, Heri langsung pergi ke Wonosobo seorang diri. Ia meninggalkan
indekos Renita begitu saja, bahkan tanpa berpamitan lagi. Sedangkan Renita
menjalani hari itu dengan penuh kesialan. Proposal skripsinya ditolak
mentah-mentah dengan alasan latar belakang yang tidak kuat. Ia kemudian
mengutuk kedatangan Heri pada jam dua pagi dan pertengkaran mereka, awal mula
dari kesialan itu. Andai Heri tak datang dan menceritakan ide gilanya itu,
mungkin nasib buruk tak akan mengikutinya seperti ini. Namun hari itu memang
satu yang terburuk dan Renita betul-betul berharap bahwa Heri tak datang malam
itu. Kali ini dengan alasan lain, karena kekesalannya jelas tak berarti apa-apa
dibandingkan dengan kehilangan yang harus ia tanggung.
Waktu
itu pukul 10.23. Renita ingat betul, karena ia sempat melihat jam digital di
layar HPnya saat pesan masuk itu datang beruntun di group chat angkatannya. Ia
tahu kabar itu dari sana, seperti yang lainnya, seolah dunia tak harus
repot-repot membagi kabar sahabatnya itu secara lebih intim. Beberapa menit
kemudian Renita mendapatkan satu telepon dari teman dekat Heri yang lain,
mengkonfirmasi kebenaran kabar itu. Heri meninggal dalam satu kecelakaan lalu
lintas di Temanggung, saat ia akan pulang ke Semarang dari kunjungannya ke
Wonosobo.
Berita
itu memenuhi rongga dada Renita, menghalanginya untuk mengeluarkan berbagai
emosi yang saat ini ia rasakan. Sendi-sendinya seperti lumpuh dan ia menjadi
mati rasa. Ia bahkan tak lagi bisa mengeluarkan air mata. Renita tak mau lagi
mendengar apa-apa tentang berita ini, tidak dengan kondisi Heri yang terakhir
atau detail mengenai kecelakaan itu. Semua itu takkan mengubah apa pun. Begitu
pula dengan perasaan bersalahnya dan segala cara yang ia tempuh untuk menghukum
dirinya sendiri waktu itu.
Maka,
beberapa hari setelah Renita sudah terlampau lelah untuk berkabung, ia memungut
kembali kertas itu, satu-satunya peninggalan Heri untuknya, yang sempat ia
abaikan dulu. Inilah satu-satunya cara agar Heri bisa kembali hidup, setidaknya
di dalam hati.