Kamis, 18 Agustus 2016

Klinik Kelelawar

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Klinik Kelelawar

Ada satu perasaan aneh yang menjalari batin Renita saat ia memperhatikan lalu-lalang manusia ini. Senyumnya belum juga berhenti mengembang sedari tadi. Wajahnya bersemu jingga. Bukan efek dari penerangan tempatnya berada saat ini. Lebih kepada, ah, ia bahkan bingung harus menerjemahkan perasaannya yang sekarang. Bukan bahagia, bukan juga bangga, lebih kepada…lega. Ia lega akhirnya mimpi ini menjadi nyata. Meskipun mimpi ini bukan miliknya. Renita sekarang justru merasa aneh karena menyebutnya sebagai mimpi. Padahal ide ini dihasilkan tanpa proses tidur terlebih dahulu.
***
“Lama-lama bosen nggak, sih, kita ke sini terus?”
Renita menghentikan aktifitasnya mengetik seketika. Dipandanginya lawan bicara yang saat itu terlihat begitu gelisah. Heri memang kadang seperti itu, terlihat cemas padahal sedang tak ada masalah berarti.
“Mau pulang aja apa?” tawar Renita, yang saat itu sudah melepas satu sumpalan earphone dari telinga kanannya.
“Ya, nggak gitu juga, Re.”
“Terus? Kaloji Torajanya nggak seenak biasanya?” Renita melongokkan kepalanya ke arah cangkir kopi Heri. Masih sisa sekitar setengah gelas, memang. Sesuatu yang tak wajar, mengingat mereka sudah berdiam di tempat ini selama hampir dua jam. Biasanya Heri malah sudah memesan satu cangkir lagi.
Renita pun harus mengurungkan niatnya untuk menatap laptopnya kembali. Heri justru semakin gelisah, membuat Renita lebih khawatir dari sebelumnya. Laki-laki itu terus menggerak-gerakkan satu kakinya di bawah meja. Pandangannya sedari tadi juga tidak bisa fokus menatap Renita, sementara tangannya sibuk meremas rambutnya yang gondrong.
Segera saja Renita melakukan satu manuver, menutup semua aplikasi yang sempat ia buka. Setelah komputernya berada dalam sleep mode, Renita menutup layar laptopnya begitu saja dan mulai mengemasi alat-alat tulis yang berceceran di meja.
“Kita pulang aja, Her. Udah jam dua juga.” katanya, seolah jam segitu memang sudah terlalu larut untuk mereka. Padahal, manusia kelelawar seperti mereka kan, biasanya justru baru mulai membuat pesanan pada jam-jam segini.
“Kok pulang sih, Re?”
Renita menghentikan sejenak aktifitas beres-beresnya dan menoleh ke Heri yang tidak terima.
“Heri, kamu mending tidur.”
“Baru juga jam dua.”
Terlambat. Heri tak dapat mencegah keputusan Renita karena perempuan mungil itu kini sudah berdiri menenteng tas laptopnya. Heri pun malas-malasan meninggalkan tempat kesayangannya ini, satu-satunya kedai kopi yang buka 24 jam di Kota Semarang. Kaloji Toraja yang masih setengah cangkir ia tinggalkan begitu saja.
***
“Re..coba, deh.”
Lamunan Renita seketika buyar, mendapati satu colekan di lengan kirinya.
“Ardi, bikin kaget, deh.”
Laki-laki bernama Ardi tadi hanya menyeringai, kedua tangannya masih menyodorkan cangkir berisi cairan hitam itu ke arah Renita.
“Kan kemarin aku udah nyoba.”
“Ini beda, tadi aku iseng nyampur pake durian. Biasanya kan durian dicampurnya pake kopi Sumatra, ini aku nyoba buat yang Jawa. Gimana menurut kamu?”
Mau tak mau, Renita akhirnya menerima cangkir itu. Ia lalu menyesapnya perlahan, merasakan sensasi lembut dan manis melewati lidah dan kerongkongannya. Renita tersenyum setelah itu.
“Kurang…enak, ya?”
“Nggak seenak kalau pake kopi Sumatra sih, Di. Tapi nggak buruk, kok.”
Ardi hanya tersenyum tipis.
“Eh, tapi ini nggak masuk menu lho.” Kata Renita, menyesap sisa kopi hingga habis.
“Iya. Aku buat itu tadi iseng, siapa tahu bisa dipakai buat variasi nantinya.”
Thanks, ya.”
Dan Renita justru mulai merasa cemas sekarang. Sebenarnya ada lebih banyak alasan baginya untuk bahagia ketimbang cemas seperti sekarang ini. Antusiasme para pegawai yang tiada henti, dukungan dari kolega yang masuk hampir semenit sekali melalui aplikasi pengirim pesannya. Kedai memang baru akan dibuka satu jam lagi tapi rasanya ia tak perlu khawatir mengenai sambutannya nanti. Ia hanya merasa ini kurang adil. Harusnya, bukan ia yang menikmati jerih payah ini.
***
“Jadi, Re. Gimana kalau kita buka usaha kedai kopi?”
Untung saja Renita sedang tak berusaha menyesap cairan hitam itu dari dalam cangkir. Karena jika ya, dia pasti akan menyemburkannya sebelum sempat menelan. Tapi pertanyaan Heri tadi sudah sukses membuat ia mematung. Hanya matanya yang bergerak, memelototi Heri yang justru asyik menyesap House Blend yang tadi ia pesan. Kemarin dia kelihatan cemas, sekarang mengajak mendirikan kedai kopi. Renita tak habis pikir sahabatnya berturut-turut membuat ia hampir terkena serangan jantung.
“Kamu gila, ya?” sahut Renita asal. Ia sudah kembali menghadap laptop, berusaha membuat sibuk pikirannya sehingga ia tak harus meladeni Heri yang mulai absurd.
“Kedai kopi, 24 jam, di area deket kampus. Coba kamu pikir, peluang bisnis bagus itu, Re!” Heri mengoceh seolah tak peduli bahwa Renita sama sekali tak tertarik dengan topik ini.
“Aneh-aneh aja kamu ini, Her. Kita itu udah semester tujuh. Memangnya proposal skripsi kamu udah beres?”
“Skripsi lagi! Kamu mau cepet-cepet lulus? Terus jadi pengangguran? Mending kita coba wirausaha. Bukan cuma dapet pekerjaan, tapi juga menyediakan buat orang lain. Lagipula kan, Re, kita berdua suka ngopi-“
“Yang suka cuma kamu, Her. Aku kan tiap ke sini lebih sering pesen Thai Tea.”
“Oke, kalau gitu, kita kan, sama-sama suka kedai kopi. Kenapa nggak coba bikin sendiri yang vibe-nya lebih sesuai dengan kita dan tentunya lebih…murah.” Heri merendahkan volume suaranya pada kata ‘murah’, yang mau tak mau membuat Renita tertawa.
“Kamu kenapa sih, ngotot banget gini?”
“Kemarin aku mau ngejelasin itu, eh kamu malah ngajak pulang. Lama-lama capek juga tiap hari nyetir ke pusat kota cuma buat ngerjain tugas di kedai kopi. Kan di deket kampus belum ada. Padahal mahasiswa itu target market yang potensial banget.”
“Eh, ada kok, di belakang kampus, yang deket ayam geprek itu.”
“Itu mah angkringan!” Renita tersenyum, meskipun pandangannya masih tertuju ke arah laptop. Ia sudah memprediksi reaksi sahabatnya akan seperti ini. “Yang mau kita buat itu, kedai kopi dengan konsep café gitu lah, tapi tetep merakyat. Pake kursi-kursi kayu, dindingnya didekorasi tipografi-tipografi lucu, menu-menunya dibikin unik, penerangannya pake lampu hias, pasti anak muda suka.”
“Ya udah, good luck, Her!”
“Jadi kamu mau, kan?”
“Nggak!”
“Ah!” Heri melempar tubuhnya sebal, membiarkan punggungnya menyentuh punggung kursi juga. Renita justru tertawa.
***
Pengunjung sudah mulai berdatangan, membuat Renita kewalahan menjabat tangan mereka satu per satu. Kursi-kursi sudah mulai penuh, membuat Ardi dan kedua barista lainnya mulai kewalahan melayani pesanan mereka. Antrian di depan kasir juga mulai mengular. Disti, gadis bertubuh mungil yang bertindak sebagai kasir sampai harus berteriak agar tak kalah dengan keriuhan pengunjung, yang sebagian besar adalah teman kampus Renita sendiri. Usaha Renita menghubungi mereka jauh-jauh hari jelas tak sia-sia. Kebanyakan temannya datang secara rombongan, membuat kedai ini ramai seketika.
“Re! Re! Aku pakai  ini cuma buat hari ini, kan?” kata Fatih, yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Laki-laki berkacamata itu sudah lengkap berdandan ala dokter, lengkap dengan jas snelli dan stetoskop.
“Iya, snelli-nya Cuma buat marketing aja, kok. Besok kamu dateng pake kemeja biasa aja.”
“Siap, Re!”
“Tempat kamu di sana, ya!” Renita menunjuk pada satu meja di pojok kiri café, yang sudah ia tandai dengan tulisan “KONSULTASI KESEHATAN GRATIS” di atas blackboard.
Renita melirik jam di pergelangan tangannya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Sebentar lagi, ini semua akan dimulai.
***
Ketukan di pintu itu terdengar semakin keras, memaksa Renita untuk segera terjaga dari tidurnya. Ia masih enggan buru-buru membuka pintu, padahal ketukan itu kini sudah disertai oleh keluhan orang yang hampir putus asa.. Beginilah resiko memiliki indekos yang terletak persis di pinggir jalan dan tanpa pintu gerbang. Pintu kamarnya tadi langsung menghubungkan kamarnya dengan jalanan kecil yang sering dilalui mahasiswa untuk kuliah. Meskipun begitu, Renita tak pernah merasa terganggu karena jalanan kecil tersebut memang tak terlalu sering menyumbang kebisingan.
“Re, masih hidup kan, Re?” Suara tersebut terlampau keras, apalagi mengingat waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Jika saja tega, Renita tak akan membukakan pintu dan orang tadi pasti segera diusir oleh penghuni indekos lain yang terganggu. Namun ia jelas tak sejahat itu.
Setelah merasa nyawanya terkumpul, Renita berjalan mendekat pintu, bahkan tanpa repot-repot merapikan rambutnya dahulu. Buat apa, orang ia tidak sedang akan menemui pangeran yang mau mengembalikan sepatu kacanya.
“Lama banget sih cuma buka pintu aja!”
Renita tak segera menyahut. Untuk beberapa saat, ia tak mengenali Heri. Selama ini, ia amat jarang melihat rambut laki-laki itu dikucir ke atas seperti ini. Matanya sampai harus mengerjap beberapa kali, mencoba menyocokkan wajah Heri yang ia kenal dengan lelaki yang berdiri di depan indekosnya ini.
“Kenapa sih, Her?” tanyanya malas.
“Kok chat-ku nggak ada yang kamu balas sih?”
“Udah tidur.”
“Widih, baru jam berapa ini? Udah mau pensiun jadi kelelawar?” suara Heri masih begitu segar dan semangat, padahal laki-laki itu belum tidur sedari tadi.
“Besok aku konsultasi proposal skripsi pagi-pagi, Her. Kamu mau apa, deh?”
“Nih, aku udah buat konsep kedai kopi kita. Aku mau bikin konsepnya kopi Jawa gitu, kan mumpung kita deket sama daerah penghasilnya. Sekalian promosi juga biar orang-orang tahu kalau jenis kopi di sini tuh beragam, nggak cuma yang itu-itu aja.”
Heri menyerahkan selembar kertas yang diterima Renita dengan malas. Seingat perempuan itu, ia tak pernah mengiyakan ajakan bisnis ini.
“Terus kopi Toraja kesayanganmu mau dikemanain?”
“Yee,Toraja mah udah terkenal banget, kopi-kopi Jawa kan belum. Bahkan orang-orang Jawa pasti juga lebih tahu itu atau Gayo, padahal daerah sekitar mereka sendiri jadi penghasil. Makanya ini aku mau ke Wonosobo. Mau ngejar Bowongso mereka yang terkenal itu. Nanti itu bakal aku jadiin salah satu signature.”
Saat itu juga, Renita merasakan kedua bola matanya hampir melompat keluar. Ini sudah ketiga kalinya Heri membuatnya hampir terkena serangan jantung.
“Kamu jangan nekat gini deh, Her. Ini jam berapa?”
“Justru kalau berangkat jam segini, aku bakal sampai di sana pagi. Jadi aku bisa sarapan pake Bowongso langsung. Jadi gimana, kamu mau ikut?”
“Her, jangan gila, deh. Pertama, ngapain kamu pake ngasih konsep kedai kopimu sama aku? Emang aku pernah ngomong iya pas kamu ajak bikin usaha? Kedua, besok aku konsultasi proposal. Aku nggak mau buang masa depan demi impian gilamu itu! Aku tahu kita sahabatan, cuma nggak ini juga, Her.”
“Justru ini masa depan, Re!”
“Masa depan gimana? Ngawur kamu!”
“Kamu ini gimana sih? Ada temen yang mau usaha, bukannya didukung malah dijatuhin!”
“Aku nggak masalah kamu mau bikin usaha apa pun, asal jangan seret aku buat ngikutin ide gila ini!”
“Aku ngajak karena kamu itu sahabat terdekat aku dan yang paling sering nemenin aku ngopi. Sekarang kamu justru bilang kalau ini gila. Nggak nyangka aku, Re!”
“Her, nggak ada orang yang dateng ke indekos temennya jam dua begini, kecuali orang itu nggak waras!”
***
Renita menyapukan pandangannya ke seluruh area kedai yang sudah cukup tenang, karena sebagian besar pengunjung sudah duduk bersama pesanan mereka masing-masing. Kini yang terdengar hanya guraun kecil di setiap meja. Renita sedikit lega, karena kerumunan yang sekarang lebih mudah ia taklukkan daripada saat mereka baru saja datang. Ia mengetuk microphone tiga kali dan setiap obrolan di meja-meja itu pun terhenti. Perhatian kini sepenuhnya tertuju padanya.
“Selamat Malam, semua!” sapa Renita, yang disambut oleh koor ‘malam’ yang panjang. “Selamat Datang di Grand Opening kedai kopi saya!”
Tepuk tangan pun berganti mengisi suasana kedai.
“Sebetulnya, saya tak pernah memiliki keinginan untuk memiliki satu kedai kopi.”
Kali ini, keheningan kembali mengisi setiap sudut kedai itu. Renita menggigit bibir bawahnya, tak pernah menyangka bagian ini akan begitu sulit.
“Ini ide teman saya, Heri. Almarhum Heri Stefiano.” Keheningan masih juga belum pergi. Kali ini bahkan lebih pekat. Hampir semua pengunjung menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Heri sahabat kental saya, teman ngopi yang paling setia. Dia sangat bersemangat mendirikan satu kedai kopi berkonsep café dengan harga terjangkau. Saya orang pertama yang ia ajak dan sayangnya waktu itu saya tolak mentah-mentah. Ide ini terlalu gila. Tapi kita semua tahu Heri, dia teramat keras kepala, terlalu ngotot, dan kadang juga…sembrono.”
Kedai masih dipenuhi oleh keheningan, meskipun sudah tak mencekam seperti tadi.
“Akhirnya, dengan bantuan beberapa teman saya dan juga Heri, saya memutuskan untuk mendirikan kedai kopi ini, sebagai penebusan rasa bersalah saya, dan juga penghormatan terakhir untuknya. Saya ingin Heri tetap hidup di tengah-tengah kita. Konsep dasarnya masih sama seperti yang pernah diutarakan Heri, yaitu kopi Jawa. Maka saya mohon maaf jika mungkin teman-teman tak menemukan menu-menu semacam cappuccino, latte, maupun kopi-kopi Gayo dan Toraja. Nama menu kami bisa dibilang lugu, diambil dari nama daerah-daerah penghasil kopi di Jawa Tengah ini. Mulai dari Banaran, Gesing, Jolong, Tempur, Bowongso. Heri ingin memperkenalkan keberagaman kopi nusantara dan ia memulainya dari Jawa.”
Renita merasakan sesak di dadanya perlahan melonggar.
“Selanjtunya, kedai ini saya namakan…Klinik Kelelawar.” Keheningan pun pecah oleh tawa lirih para pengunjung. “Terdengar aneh memang, tapi rasanya tak ada lagi nama yang lebih sesuai. Saya dan Heri sering menyebut diri kami sendiri sebagai kelelawar, makhluk-makhluk yang justru bisa bekerja maksimal di malam hari. Dan klinik di sini, tak cuma sebagai sebagai satu kiasan, tapi juga bermakna literal. Saya meminta bantuan teman-teman saya dari kedokteran untuk membuka konsultasi kesehatan di sini. Bisa ditemui di pojok sebelah kiri kedai ini, tanpa biaya sepeser pun. Karena saya mau, kedai ini tak sekadar menyajikan kenikmatan, tapi juga memberikan kesehatan, layaknya kopi.”
Kini sesak di dadanya sudah hilang seluruhnya, menciptakan satu kelegaan luar biasa bagi Renita. Ia serasa sudah dimaafkan. Tepuk tangan segera saja memenuhi ruangan begitu ia menyelesaikan pidatonya itu. Satu hutangnya lunas.
***
Usai pertengkaran itu, Heri langsung pergi ke Wonosobo seorang diri. Ia meninggalkan indekos Renita begitu saja, bahkan tanpa berpamitan lagi. Sedangkan Renita menjalani hari itu dengan penuh kesialan. Proposal skripsinya ditolak mentah-mentah dengan alasan latar belakang yang tidak kuat. Ia kemudian mengutuk kedatangan Heri pada jam dua pagi dan pertengkaran mereka, awal mula dari kesialan itu. Andai Heri tak datang dan menceritakan ide gilanya itu, mungkin nasib buruk tak akan mengikutinya seperti ini. Namun hari itu memang satu yang terburuk dan Renita betul-betul berharap bahwa Heri tak datang malam itu. Kali ini dengan alasan lain, karena kekesalannya jelas tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehilangan yang harus ia tanggung.
Waktu itu pukul 10.23. Renita ingat betul, karena ia sempat melihat jam digital di layar HPnya saat pesan masuk itu datang beruntun di group chat angkatannya. Ia tahu kabar itu dari sana, seperti yang lainnya, seolah dunia tak harus repot-repot membagi kabar sahabatnya itu secara lebih intim. Beberapa menit kemudian Renita mendapatkan satu telepon dari teman dekat Heri yang lain, mengkonfirmasi kebenaran kabar itu. Heri meninggal dalam satu kecelakaan lalu lintas di Temanggung, saat ia akan pulang ke Semarang dari kunjungannya ke Wonosobo.
Berita itu memenuhi rongga dada Renita, menghalanginya untuk mengeluarkan berbagai emosi yang saat ini ia rasakan. Sendi-sendinya seperti lumpuh dan ia menjadi mati rasa. Ia bahkan tak lagi bisa mengeluarkan air mata. Renita tak mau lagi mendengar apa-apa tentang berita ini, tidak dengan kondisi Heri yang terakhir atau detail mengenai kecelakaan itu. Semua itu takkan mengubah apa pun. Begitu pula dengan perasaan bersalahnya dan segala cara yang ia tempuh untuk menghukum dirinya sendiri waktu itu.
Maka, beberapa hari setelah Renita sudah terlampau lelah untuk berkabung, ia memungut kembali kertas itu, satu-satunya peninggalan Heri untuknya, yang sempat ia abaikan dulu. Inilah satu-satunya cara agar Heri bisa kembali hidup, setidaknya di dalam hati.